Senin, 27 April 2009

MEMERANGI PENJAJAHAN BAHASA INDONESIA DI LINGKUNGAN SEKOLAH

( Erosi Bahasa Indonesia pada Penutur Tingkat Intelektualitas Tinggi)

Dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2009

Bambang Sumbogo

Guru SMA Cita Hati Surabaya

Pak, panggilno Pak Bambang! Ambek siapa perginya? Yak apa ulangan saya Pak!

Bapake iki lho mbencekno! Pak, bukunya saya letakkan ndek atas meja! Lapo gak datang?

(bahasa seperti ini ditemui di kalangan pelajar Surabaya)

Bahasa-bahasa sejenis itulah yang hampir setiap hari terdengar dan akhirnya mengusik hati, karena merasa bahwa hal ini adalah akibat dari kurang (tidak) berhasilnya pengajaran dan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah.

Ironisnya lagi, kalimat sejenis itu pula yang sering digunakan guru dari berbagai bidang ilmu (termasuk guru bahasa Indonesia) meskipun situasi dan lingkungannya “sekolahan”, tempat kaum intelektual menerapkan intelektualitasnya. Dan jelas, ini merupakan cerminan rendahnya “intelektualitas berbahasa Indonesia” pada golongan yang seharusnya lebih memahami dan merasa menjadi bagian dari berhasil atau tidaknya pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di bumi Indonesia.

Hal ini menjadi “bumerang” bagi para guru bahasa Indonesia. Bagaimana tidak, pengajaran bahasa Indonesia yang secara pragmatis selama ini berbasis pada tujuan “baik dan benar” telah menjadi slogan tak berarti. Bahkan telah menjadi bahan olok-olokan.

Ini bukan masalah penghakiman terhadap kesalahan berbahasa Indonesia, tetapi masalah tanggung jawab moral pemakai bahasa Indonesia sebagai bentuk penghargaan terhadap “ajining diri” kita sebagai suatu bangsa.

Suatu saat seorang teman guru bertanya, “Apakah anda merasa berhasil mengajarkan bahasa Indonesia?” Bagaimana akan terjawab jika realitas perkembangan bahasa Indonesia seperti sekarang ini keadaannya.

Apakah terpaan angin globalisasi sudah sedemikian dahsyatnya hingga mampu melapukkan tiap sendi kebangsaan termasuk memporak-porandakan bahasa? Dan pada akhirnya bahasa Indonesia hanya akan dikenang “pernah ada” dan masuk pada ranah pelajaran sejarah.

Memang bagi kita yang hanya tahu menggunakan bahasa, hal ini tidaklah menjadi prioritas untuk dipikirkan. “Hanya buang-buang waktu saja”, kata mereka.

Entah sadar atau tidak, bahwa selama ini kita “mengacak-acak” bahasa yang menjadi jatidiri sendiri, lalu lambat laun akhirnya bahasa Indonesia menjadi tidak berharga di mata pemakai dan pemiliknya sendiri.

Tangung jawab siapakah ini?Guru bahasa Indonesia? Bukan! Seluruh komponen bangsa yang hingga saat ini masih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari bertangung jawab atas eksistensinya.

Memang melalui guru ( lebih-lebih guru bahasa Indonesia), proses mengajari siswa berbahasa Indonesia yang baik dengan pola yang benar terus dilakukan , meskipun di satu sisi yang lain gempuran erosi kebahasaan makin kencang ditambah minimnya nasionalisme penutur bahasa Indonesia itu sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi bahan keprihatinan “kaum berpendidikan”, akan kelangsungan bahasa dan budaya Indonesia.

Falsafah Jawa mengatakan “Ajining Diri Jalaran Soko Lathi Pribadi”, orang akan dihargai karena penggunaan bahasanya yang dapat diterima orang lain. Dalam arti, bahasa Indonesia yang dipakainya itu secara implisit bermuatan budi pekerti, menghargai komunikan lain, menempatkan orang lain dalam konteks penggunaan bahasa “lebih tinggi”, dan terstruktur dengan benar.

Sekedar contoh, kita akan mengajak teman sejawat makan di kantin, sebagai pengguna bahasa yang baik, tidak akan mengatakan “Kamu mau kuajak makan?”atau “Yuk, makan!” karena kalimat-kalimat itu tidak mengambarkan pencitraan penghargaan antarkomunikan. Bandingkan dengan kalimat “Pak/Bu mari kita makan!”.

Erosi kebahasaan yang dimaksud di sini, bukan hanya rusaknya tata (nan) bahasa, kuatnya aneksasi bahasa (penyerobotan bahasa), dan hilangnya penghargaan antarkomunikan, tetapi juga terkikisnya kepercayaan pemakai bahasa terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.

Ini sudah terjadi dan akan terus berlangsung sampai kita terbangun dan benar-benar sadar bahwa kita memang memerlukan bahasa pemersatu bangsa yaitu bahasa Indonesia, bahasa nasional yang layak untuk dibanggakan. Mengapa harus menunggu? Tidakkah lebih baik bila mulai sekarang kita mencoba menempatkan bahasa Nasional Indonesia pada hakikat bahasa nasional yang sebenarnya, yang mewujud pada penggunaan yang benar dan tidak “ngawur”.

Jika hal itu dilakukan maka kita sudah melaksanakan sebagian tugas dan tanggung jawab sebagai warga bangsa Indonesia yaitu “Nguri-uri Kabudayan lan Basaning Bangsa”, melestarikan kebudayaan bangsa yang di dalamnya termasuk bahasa Indonesia. Dan pada akhirnya orang akan menilai dan meniru diri kita dalam berbahasa Indonesia, termasuk anak-anak kita di rumah, murid-murid kita di sekolah, dan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat kita.

GURU DI SEKOLAH MENJADI FIGUR CONTOH ANAK DIDIK
Pernahkah anda mendampingi anak belajar di rumah? Ada kejadian yang membuat saya meyakini bahwa guru di sekolah itu memang benar-benar menjadi figur contoh bagi anak saya yang pada saat itu masih kelas 2 SD. Saat anak saya mengerjakan PR bahasa Indonesia, saya mencoba memberikan pengertian bahwa objek kalimat yang dibuatnya itu tidak harus Budi, tetapi bisa mengambil yang lain, misalnya: Tono, Yanti, atau yang lain. Apa yang terjadi? Anak itu tetap tidak mau menerima dan tetap menggunakan Budi sebagai objek kalimatnya. Ternyata ia mencontoh setiap kalimat yang dibuat gurunya, tanpa mau sedikitpun menerima masukan dari orang tuanya tentang pelajaran di sekolahnya. Dan dia selalu mengatakan “Menurut guru, . . . .

Dari contoh hal sederhana inilah muncul keyakinan bahwa apapun tindakan dan ucapan seorang guru di depan kelas akan selalu diikuti dan dipercaya siswa sebagai hal yang benar. Sehingga sudah sepantasnya bila guru juga mulai membiasakan diri “merapikan” bahasa Indonesia yang digunakannya di lingkungan sekolah, agar anak didiknya mencontoh dan meyakini bahwa bahasa yang digunakan gurunya itu baik dari segi pragmatisme bahasa dan benar dari segi tata aturan berbahasanya.

Mari kita didik mereka berbahasa yang bermartabat dengan memberikan contoh nyata menggunakan bahasa Indonesia yang bertanggung jawab di lingkungan sekolah kita sendiri. Sehingga mereka juga menjadi contoh untuk generasi berikutnya, yang menyadari dan menghargai bahwa catatan sejarah bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, serta mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Dan pada akhirnya , tak lagi terdengar lagi olok-olok tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi justru menjadikan pemakai bahasa lebih santun dalam proses berkomunikasi dan berinteraksi sebagai cerminan intelektualitas pemahaman bahasa.

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)

(MENGINTIP PROSES PENDIDIKAN BERPERILAKU)

Dalam rangka peringatan 120 Tahun Hari Pendidikan Nasional Indonesia

Oleh : Bambang Sumbogo

Guru SMA Cita Hati Surabaya

Pelajaran budi pekerti di beberapa sekolah yang selama ini dinilai tidak efektif karena “ditumpangkan” ke pelajaran agama, dituding sebagai penyebab rendahnya akhlak dan perilaku sosial siswa di lingkungannya. Kurangnya rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua, perkelahian antarpelajar, terjerumusnya siswa pada narkoba, berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian, misalnya, merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan budi pekerti.

Kaitannya dengan merosotnya moral bangsa saat ini, seperti semakin merajalelanya korupsi, ini menunjukkan bahwa kita semakin lupa dan semakin tidak peduli dengan bagaimana seharusnya berbudi pekerti yang baik.

Seharusnya para siswa tahu bahwa perilaku seperti itu menyebabkan dirinya tidak dapat menamatkan sekolahnya, karena pada SK Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 64/c/Kep/PP/2000 telah dituliskan dengan jelas bahwa salah satu syarat kelulusan siswa adalah nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi acuan untuk menentukan seorang siswa tamat atau tidak tamat sekolah.

Namun pada pelaksanaannya , pihak sekolah belum berani mengambil resiko berdasar diberlakukannya SK itu. Dan ini dimaklumkan, karena bagaimanapun juga pihak sekolah akan selalu mengambil kebijaksanaan yang menguntungkan siswa, apalagi siswa itu ada di jenjang terakhir sekolahnya. Dan hal ini dapat disebut sebagai pengingkaran realitas pendidikan budi pekerti. Dan jika terjadi, maka pengambil kebijaksanaan itu juga dapat dikategorikan sebagai yang tidak mempedulikan eksistensi pendidikan budi pekerti. Ironis memang.

Masih sangat jelas diingatan kita, bagaimana 16 kepala sekolah di salah satu provinsi di Indonesia ditangkap polisi karena membocorkan naskah ujian nasional, yang notabene adalah rahasia negara. Ini hanya satu kasus dari beberapa yang ada dan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memahami budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti adalah suatu proses pembentukan perilaku dan watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan budi pekerti pada akhirnya akan membentuk karakter dengan parameter yang luhur adalah kesesuaiannya dengan norma, etika, dan ajaran agama yang dianut.

Budi pekerti adalah tindakan / tingkah laku (behaviour), bukan pengetahuan yang harus diingat, dalam proses pengajarannya guru tidak harus menerangkan teori-teori yang harus dihafalkan siswa.

Meskipun tidak diakui, tetapi pendidikan budi pekerti sangat menunjang terciptanya “kemudahan” guru dalam proses pengelolaan pembelajaran di dalam kelas. Karena karakter siswa sudah tercipta dengan baik.

Tetapi sayang, pendidikan budi pekerti ini seolah-olah dengan sengaja dipinggirkan dan tidak mendapatkan “jatah” jam tersendiri, bahkan di beberapa sekolah pendidikan budi pekerti hanya dititipkan pada pelajaran agama yang lebih menekankan pengajaran nilai-nilai agama kepada peserta didik.

Karena kurangnya muatan nilai budi pekerti itulah para siswa tidak mendapatkan nutrisi norma-norma yang menjadi petunjuk dalam bergaul sesama siswa ataupun dalam masyarakat. Bahkan sebagian besar pelajar kita tercerabut dari peradaban easternisasi (ketimuran) yang beradab.

Memang pada pelajaran agama, bagian integral materi yang ada adalah pendidikan akhlak yang berperan membina moral peserta didik, kemudian menjadi sarana pendidikan budi pekerti. Apakah ini sudah dianggap cukup? Lihatlah hasilnya.

PENDIDIKAN KARAKTER (BUDI PEKERTI) ANTARLINTAS PELAJARAN

Sudah bukan hal baru lagi jika hampir di tiap sekolah, guru agama dan guru BP diberi wewenang untuk “mengajar” budi pekerti, sehingga muncul kesan kedua guru itulah yang bertangung jawab atas merosotnya akhlak dan karakter siswa.

Kita tentu lebih bijak dalam menangapinya. Karena selain kedua guru itu, guru lainpun sebenarnya tidak dapat lepas dari tangung jawab “mendidik” siswa dalam berbudi pekerti. Apakah mungkin, guru fisika akan membiarkan saja muridnya belajar di kelas sambil mengangkat kaki (jegang, bhs. Jawa), atau guru biologi akan membiarkan siswanya melakukan praktikum sambil duduk di meja? Tentu tidak. Di sinilah tiap guru, apapun bidang yang diajarkannya, mengambil peran menyampaikan pendidikan budi pekerti itu.

Untuk meningkatkan kedewasaan moral dan pembentukan karakter (budi pekerti) siswa, penyajian materinya sebaiknya dilakukan secara terpadu kepada dan di dalam semua pelajaran dengan melibatkan semua guru serta staff sekolah.

Tujuannya bukan sekedar menyiapkan peserta didik menelan mentah konsep-konsep pendidikan budi pekerti, tetapi yang lebih utama adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi siswa yang memiliki tindakan atau perilaku yang berbudi luhur dan mengacu pada moralitas individual yang berprestasi akademik.

Jadi kita akan merasa malu jika mengambinghitamkan guru agama dan guru BP,karena benang merah tanggung jawab itu memang menghubungkan kita semua.

Bagaimana strategi muatan pendidikan budi pekerti pada tiap pelajaran sekolah? Secara sistematis nilai-nilai budi pekerti diintegrasikan dalam materi pembelajaran. Dan untuk menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa, penyampaiannya harus dalam suasana kondusif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru dan seluruh staf sekolah harus mampu menjadi teladan insan berbudi pekerti luhur, baik dalam tutur kata maupun tindakan. Budi pekerti (karakter) bukan bersifat pelajaran melainkan proses pendidikan berbasis perilaku. Jadi budi pekerti / karakter itu tidak diajarkan seperti ilmu pasti atau sosial, melainkan pendidikan yang lebih mengedepankan contoh perilaku.

Kemudian jika setiap guru dalam mengajar di kelas itu banyak memberikan contoh perilaku yang baik, bersopan santun, menyampaikan dengan ucapan baik, dapat dikatakan guru itu sudah memberikan keteladanan berperilaku. Ingat! Bahwa setiap hari mereka melihat perilaku kita sebagai guru, dan itu berpengaruh besar terhadap budi pekerti mereka.

Semua pihak pasti menyepakati bahwa karakter atau budi pekerti anak didik kita sekarang ini akan menentukan keberhasilan hidup dan kelangsungan bangsa ini di masa mendatang, oleh karena itu tak dapat ditawar lagi, kita harus membentuk karakter dan budi pekerti luhur pada anak-anak didik kita, agar tidak lagi muncul berbagai kasus yang berhubungan dengan terjerembabnya moral dan budi pekerti seperti yang sudah-sudah.

HASIL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

“Bagai teman seiring” ungkapan ini tepat dipakai untuk mengambarkan dua subjek yang sama-sama mengelola karakter siswa, yaitu pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti.

Yang membedakan adalah relasi diri terdidik (siswa) dengan implementasi hasil didikan yang telah diterimanya. Pendidikan agama lebih menekankan pada keyakinan akan kebenaran nilai-nilai agama yang dianutnya, sedangkan pendidikan budi pekerti memberi penekanan pada norma perilaku beretika dalam kehidupan berinteraksi. Pendidikan budi pekerti selalu dihubungkan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Jadi, seseorang yang berbudi pekerti berarti ia menghargai diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya karena dengan demikian tergambar dengan jelas nilai-nilai ahklak seperti pada ajaran agama, apapun agamanya.

Dan pada penerapannya, perilaku siswa lebih cenderung pada sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengasihi baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memberi nilai khusus pada pendidikan budi pekerti ini, dengan cara memberi tambahan muatannya pada setiap pelajaran meskipun tanpa tambahan jam khusus. Dan akan lebih berhasil guna jika pihak penyelenggara pendidikan tidak menganaktirikannya, tetapi menempatkannya sejajar dengan pelajaran akademik yang lain.

Pada akhirnya karakter dan ahklak siswa akan terbentuk menjadi jati diri yang sebenarnya sesuai dengan norma kehidupan yang berlaku, dalam perspektif siswa yang berprestasi akademis. Iman sebagai dasar pembangun keyakinan dalam bingkai kebenaran dan pembangun relasi dengan Tuhan akan memperkokoh kepercayaan siswa terhadap Tuhan. Dan tentunya hikmat dari nilai-nilai pendidikan dan ajaran tentang kehidupan akan membentuk siswa menjadi manusia bijaksana dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.

Senin, 02 Maret 2009

MENGENAL BUKIT MENOREH

MENYUSURI LEMBAH MENOREH



Bagi masyarakat Jawa Tengah bagian selatan, "Bukit Menoreh" bukanlah tempat yang asing lagi bagi mereka.Bukit Menoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putera beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (putera Pangeran Diponegoro dengan R.Ay. Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulon Progo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.
Di sepanjang kaki "Menoreh" terhampar persawahan dan perkebunan yang subur, dililit sungai yang berhulu di gunung Merbabu-Sumbing. Sangat elok laksana "beksan Serimpi" yang ditarikan gadis-gadis berparas ayu. Lenggang lenggoknya menawan hati, hembusan angin dari tiap sisi punggungnya sepoi menenangkan.