Senin, 27 April 2009

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (KARAKTER)

(MENGINTIP PROSES PENDIDIKAN BERPERILAKU)

Dalam rangka peringatan 120 Tahun Hari Pendidikan Nasional Indonesia

Oleh : Bambang Sumbogo

Guru SMA Cita Hati Surabaya

Pelajaran budi pekerti di beberapa sekolah yang selama ini dinilai tidak efektif karena “ditumpangkan” ke pelajaran agama, dituding sebagai penyebab rendahnya akhlak dan perilaku sosial siswa di lingkungannya. Kurangnya rasa hormat siswa terhadap guru dan orang tua, perkelahian antarpelajar, terjerumusnya siswa pada narkoba, berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian, misalnya, merupakan tindakan yang berhubungan langsung dengan budi pekerti.

Kaitannya dengan merosotnya moral bangsa saat ini, seperti semakin merajalelanya korupsi, ini menunjukkan bahwa kita semakin lupa dan semakin tidak peduli dengan bagaimana seharusnya berbudi pekerti yang baik.

Seharusnya para siswa tahu bahwa perilaku seperti itu menyebabkan dirinya tidak dapat menamatkan sekolahnya, karena pada SK Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 64/c/Kep/PP/2000 telah dituliskan dengan jelas bahwa salah satu syarat kelulusan siswa adalah nilai budi pekerti. Pendidikan budi pekerti menjadi acuan untuk menentukan seorang siswa tamat atau tidak tamat sekolah.

Namun pada pelaksanaannya , pihak sekolah belum berani mengambil resiko berdasar diberlakukannya SK itu. Dan ini dimaklumkan, karena bagaimanapun juga pihak sekolah akan selalu mengambil kebijaksanaan yang menguntungkan siswa, apalagi siswa itu ada di jenjang terakhir sekolahnya. Dan hal ini dapat disebut sebagai pengingkaran realitas pendidikan budi pekerti. Dan jika terjadi, maka pengambil kebijaksanaan itu juga dapat dikategorikan sebagai yang tidak mempedulikan eksistensi pendidikan budi pekerti. Ironis memang.

Masih sangat jelas diingatan kita, bagaimana 16 kepala sekolah di salah satu provinsi di Indonesia ditangkap polisi karena membocorkan naskah ujian nasional, yang notabene adalah rahasia negara. Ini hanya satu kasus dari beberapa yang ada dan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memahami budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti adalah suatu proses pembentukan perilaku dan watak seseorang, sehingga dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk serta mampu menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan budi pekerti pada akhirnya akan membentuk karakter dengan parameter yang luhur adalah kesesuaiannya dengan norma, etika, dan ajaran agama yang dianut.

Budi pekerti adalah tindakan / tingkah laku (behaviour), bukan pengetahuan yang harus diingat, dalam proses pengajarannya guru tidak harus menerangkan teori-teori yang harus dihafalkan siswa.

Meskipun tidak diakui, tetapi pendidikan budi pekerti sangat menunjang terciptanya “kemudahan” guru dalam proses pengelolaan pembelajaran di dalam kelas. Karena karakter siswa sudah tercipta dengan baik.

Tetapi sayang, pendidikan budi pekerti ini seolah-olah dengan sengaja dipinggirkan dan tidak mendapatkan “jatah” jam tersendiri, bahkan di beberapa sekolah pendidikan budi pekerti hanya dititipkan pada pelajaran agama yang lebih menekankan pengajaran nilai-nilai agama kepada peserta didik.

Karena kurangnya muatan nilai budi pekerti itulah para siswa tidak mendapatkan nutrisi norma-norma yang menjadi petunjuk dalam bergaul sesama siswa ataupun dalam masyarakat. Bahkan sebagian besar pelajar kita tercerabut dari peradaban easternisasi (ketimuran) yang beradab.

Memang pada pelajaran agama, bagian integral materi yang ada adalah pendidikan akhlak yang berperan membina moral peserta didik, kemudian menjadi sarana pendidikan budi pekerti. Apakah ini sudah dianggap cukup? Lihatlah hasilnya.

PENDIDIKAN KARAKTER (BUDI PEKERTI) ANTARLINTAS PELAJARAN

Sudah bukan hal baru lagi jika hampir di tiap sekolah, guru agama dan guru BP diberi wewenang untuk “mengajar” budi pekerti, sehingga muncul kesan kedua guru itulah yang bertangung jawab atas merosotnya akhlak dan karakter siswa.

Kita tentu lebih bijak dalam menangapinya. Karena selain kedua guru itu, guru lainpun sebenarnya tidak dapat lepas dari tangung jawab “mendidik” siswa dalam berbudi pekerti. Apakah mungkin, guru fisika akan membiarkan saja muridnya belajar di kelas sambil mengangkat kaki (jegang, bhs. Jawa), atau guru biologi akan membiarkan siswanya melakukan praktikum sambil duduk di meja? Tentu tidak. Di sinilah tiap guru, apapun bidang yang diajarkannya, mengambil peran menyampaikan pendidikan budi pekerti itu.

Untuk meningkatkan kedewasaan moral dan pembentukan karakter (budi pekerti) siswa, penyajian materinya sebaiknya dilakukan secara terpadu kepada dan di dalam semua pelajaran dengan melibatkan semua guru serta staff sekolah.

Tujuannya bukan sekedar menyiapkan peserta didik menelan mentah konsep-konsep pendidikan budi pekerti, tetapi yang lebih utama adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi siswa yang memiliki tindakan atau perilaku yang berbudi luhur dan mengacu pada moralitas individual yang berprestasi akademik.

Jadi kita akan merasa malu jika mengambinghitamkan guru agama dan guru BP,karena benang merah tanggung jawab itu memang menghubungkan kita semua.

Bagaimana strategi muatan pendidikan budi pekerti pada tiap pelajaran sekolah? Secara sistematis nilai-nilai budi pekerti diintegrasikan dalam materi pembelajaran. Dan untuk menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa, penyampaiannya harus dalam suasana kondusif dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru dan seluruh staf sekolah harus mampu menjadi teladan insan berbudi pekerti luhur, baik dalam tutur kata maupun tindakan. Budi pekerti (karakter) bukan bersifat pelajaran melainkan proses pendidikan berbasis perilaku. Jadi budi pekerti / karakter itu tidak diajarkan seperti ilmu pasti atau sosial, melainkan pendidikan yang lebih mengedepankan contoh perilaku.

Kemudian jika setiap guru dalam mengajar di kelas itu banyak memberikan contoh perilaku yang baik, bersopan santun, menyampaikan dengan ucapan baik, dapat dikatakan guru itu sudah memberikan keteladanan berperilaku. Ingat! Bahwa setiap hari mereka melihat perilaku kita sebagai guru, dan itu berpengaruh besar terhadap budi pekerti mereka.

Semua pihak pasti menyepakati bahwa karakter atau budi pekerti anak didik kita sekarang ini akan menentukan keberhasilan hidup dan kelangsungan bangsa ini di masa mendatang, oleh karena itu tak dapat ditawar lagi, kita harus membentuk karakter dan budi pekerti luhur pada anak-anak didik kita, agar tidak lagi muncul berbagai kasus yang berhubungan dengan terjerembabnya moral dan budi pekerti seperti yang sudah-sudah.

HASIL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

“Bagai teman seiring” ungkapan ini tepat dipakai untuk mengambarkan dua subjek yang sama-sama mengelola karakter siswa, yaitu pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti.

Yang membedakan adalah relasi diri terdidik (siswa) dengan implementasi hasil didikan yang telah diterimanya. Pendidikan agama lebih menekankan pada keyakinan akan kebenaran nilai-nilai agama yang dianutnya, sedangkan pendidikan budi pekerti memberi penekanan pada norma perilaku beretika dalam kehidupan berinteraksi. Pendidikan budi pekerti selalu dihubungkan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Jadi, seseorang yang berbudi pekerti berarti ia menghargai diri sendiri, orang lain, serta lingkungannya karena dengan demikian tergambar dengan jelas nilai-nilai ahklak seperti pada ajaran agama, apapun agamanya.

Dan pada penerapannya, perilaku siswa lebih cenderung pada sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengasihi baik dalam bertutur kata maupun bertingkah laku.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita memberi nilai khusus pada pendidikan budi pekerti ini, dengan cara memberi tambahan muatannya pada setiap pelajaran meskipun tanpa tambahan jam khusus. Dan akan lebih berhasil guna jika pihak penyelenggara pendidikan tidak menganaktirikannya, tetapi menempatkannya sejajar dengan pelajaran akademik yang lain.

Pada akhirnya karakter dan ahklak siswa akan terbentuk menjadi jati diri yang sebenarnya sesuai dengan norma kehidupan yang berlaku, dalam perspektif siswa yang berprestasi akademis. Iman sebagai dasar pembangun keyakinan dalam bingkai kebenaran dan pembangun relasi dengan Tuhan akan memperkokoh kepercayaan siswa terhadap Tuhan. Dan tentunya hikmat dari nilai-nilai pendidikan dan ajaran tentang kehidupan akan membentuk siswa menjadi manusia bijaksana dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar